Peran Ulama dan Santri dalam Pemberantasan Korupsi

by -
Pradikta Andi Alvat S.H. M.H.

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H. M.H.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2015, ditetapkan bahwa tanggal 22 Oktobr diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Secara historis, pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional dilatarbelakangi oleh peristiwa resolusi jihad, yakni peristiwa dimana para santri melakukan peran religius-patriotis untuk melawan sekutu dan penjajah demi menjaga eksistensi kemerdekaan Indonesia. Peristiwa resolusi jihad sendiri diawali saat pengurus NU Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Pertemuan tersebut dilakukan dalam rangka untuk menentukan sikap terkait invasi tentara Belanda dan sekutu yang berusaha kembali menguasai dan menjajah Indonesia. Bagi NU, penjajahan tidak sekadar perihal eksistensi bangsa semata, tetapi juga perihal martabat manusia.

Akhirnya, pertemuan di Surabaya tersebut melahirkan sebuah resolusi jihad. Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar PBNU, menyerukan resolusi jihad kepada para santri untuk berperang melawan Belanda dan pihak sekutu yang berusaha kembali menjajah Indonesia. Isi dari resolusi jihad tersebut adalah terkait penegasan bahwa hukum membela tanah air hukumnya wajib bagi setiap muslim di Indonesia. Selain itu, ditegaskan pula bahwa kaum muslim yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang. Setelah keluar resolusi jihad, para kiai membentuk pasukan sabilillah yang dipimpin oleh KH Maskur.

Resolusi jihad tersebut kemudian membakar spirit religiusitas-nasionalistik kaum santri untuk ikut bertempur melawan Belanda dan sekutu di Surabaya secara habis-habisan pada pertempuran 10 November 1945. Trisula, rakyat, tentara Indonesia, dan santri akhirnya menjadi kekuatan yang merepotkan kekuatan Belanda dan sekutu yang ketika itu unggul secara persenjataan. Nilai religiusitas-nasionalistik yang diperlihatkan kaum santri dalam resolusi jihad inilah yang menjadi trigger perayaan Hari Santri nasional.
Oleh sebab itu, jika diruntut secara retrospektif, peringatan Hari Santri Nasional dimaksudkan untuk meneladani semangat jihad kaum santri khususnya terkait dinamika dan eksistensi bangsa Indonesia. Jihad secara etimologis berasal dari bahasa Arab jahada yang berarti “mengerahkan segala potensi diri untuk melakukan sesuatu hal yang positif”. Jihad tidak hanya berarti qital atau perang fisik semata. Jihad memiliki makna arti yang luas, termasuk pengendalian diri. Secara subtsantif, jihad dapat dimaknai sebagai segala perbuatan untuk memperjuangkan kebaikan dan kemaslahatan.

Oleh karena itu, entitas jihad akan selalu melekat pada diri seorang santri. Khususnya jihad dalam tataran relasi religiusitas-nasionalistik. Maka, dalam lingkup ulama NU lahir ijtihad hubbul wathon minal iman, yang artinya mencintai dan membela tanah air adalah sebagian dari iman. Santri dengan bimbingan ulama harus selalu siaga secara jiwa dan raga untuk membela tanah air Indonesia, menjaga persatuan bangsa, dan turut berkontribusi positif terkait penyelesaian problematika aktual bangsa. Maka dari itu, Peringatan Hari Santri Nasional sendiri harus menjadi sebuah momen refleksi mengenai peran dan eksistensi kaum santri di tengah dinamika aktual dan problematika bangsa. Sejauh mana santri mampu berperan secara konstruktif dalam andil mengatasi dinamika-dinamika dan problematika aktual bangsa. Mengingat dalam retrospektif sejarah bangsa, kaum santri memiliki peran-peran strategis dan penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Santri bersama ulama jangan pernah berhenti untuk melakukan jihad. Jihad harus kontinu dilakukan kaum santri dengan aktualisasi yang disesuaikan dengan situasi dan problematika aktual.

Salah satu problema aktual bangsa Indonesia dewasa ini adalah perihal korupsi. Oleh sebab itu, jihad melawan korupsi harus dilakukan oleh santri dan ulama demi kesejahteraan rakyat untuk Indonesia emas.

Problema Korupsi di Indonesia

Salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan tersebut hanya akan bisa terwujud jika didukung dengan adanya tata kelola pemerintahan dan birokrasi yang baik dan akuntabel. Pemerintahan dan birokrasi yang baik dan akuntabel ditandai dengan minimalnya praktik-praktik koruptif.

Sayangnya, praktik-praktik koruptif di negeri ini saban waktu menunjukkan tren yang negatif. Korupsi semakin meluas, baik dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa. Dari organ eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Fenomena korupsi di Indonesia sejalan dengan pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi pada awalnya dimulai secara sporadis kemudian akan meluas dan menjadi ancaman bagi eksistensi suatu bangsa.

Dalam konteks sistem hukum nasional, korupsi sendiri merupakan tindak pidana yang tergolong sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memiliki dampak negatif secara luas, sehingga memerlukan treatments luar biasa pula. Menurut Peter Eigen (2003) dampak korupsi tidak hanya mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan institusi-institusi demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memiskinkan masyarakat. Konkritnya, korupsi merupakan causa bagi tumbuhnya kesenjangan sosial dan kemiskinan.

Pasca reformasi, perbaikan substansi dan struktur untuk mendukung pemberantasan korupsi diperkuat. Pembuatan UU Pemberantasan Korupsi, pembentukan KPK, pembentukan pengadilan tipikor, dan lainnya. Namun, hal tersebut nampak belum memberikan dampak signifikan bagi kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kondisi pemberantasan korupsi justru semakin flop. Rilis terbaru, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020 pun turun.

Berdasarkan rilis dari Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2020 berada di rangking 102 dengan skor 37 atau turun 3 poin dari tahun 2019. Posisi tersebut menempatkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dibawah Timor Leste yang memiliki skor 40. Artinya, kondisi pemberantasan korupsi di Timor Leste saat ini lebih baik dari saudara tuanya Indonesia. Sungguh miris. Beberapa indikator dari Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sendiri banyak mengalami penuruan, seperti: IMD World Competitivennes Yearbook yang turun 5 poin, Perc Asia turun 3 poin, dan Varietas of Democracy yang turun 2 poin. Kondisi ini seyogyanya harus menjadi bahan introspeksi bagi semua elemen bangsa untuk memperkuat peran dan soliditas dalam mendorong terwujudnya kondusifitas pemberantasan korupsi. Termasuk peran santri dan ulama.

Faktor Strategis Santri dan Ulama dalam Pemberantasan Korupsi
Pertama, faktor demografis. Berdasarkan data dari Kementrian Dalam Negeri pada bulan Juni 2021 sebesar 272,23 juta jiwa atau 86,88 % penduduk Indonesia beragama Islam. Di sisi lain, menurut data dari Kementrian Agama pada tahun 2020, jumlah pesantren di Indonesia sebesar 26.793 dengan jumlah santri mukim sebanyak 5 juta jiwa dan santri non-mukim sebanyak 15 juta jiwa. Mayoritas dan masifisitas penduduk beragama Islam di Indonesia serta dukungan ekosistem pesantren dan santri yang luas menjadi modal sosial yang baik bagi Santri dalam melaksanakan jihad dakwah mengenai ajaran-ajaran Islam khususnya perihal semangat pemberantasan korupsi.

Kedua, faktor sosiologis. Menurut Clifford Geertz, masyarakat Indonesia secara sosio-kultural dikenal sebagai masyarakat yang memiliki corak paternalistik khususnya perihal entitas agama. Paternalistik dalam entitas agama meletakkan kiai, pemuka agama, dan santri sebagai sosok yang dihormati dan menjadi leader opinion yang dapat mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat. Nah, nilai paternalistik inilah yang bisa dimanfaatkan oleh para santri untuk mendorong, memberikan teladan, dan menanamkan nilai-nilai yang baik bagi masyarakat khususnya dalam hal mendukung spirit pemberantasan korupsi.

Peran Praksis Ulama dan Santri dalam Pemberantasan Korupsi.

Pertama, dakwah antikorupsi secara masif. Tujuannya adalah menanamkan pemahaman terkait pentingnya menjaga spirit dalam melawan praktik koruspi. Dengan jumlah pesantren sebanyak 27 ribu lebih yang tersebar di seluruh Indonesia dan 18 juta lebih santri hendaknya bisa menjadi modal sosio-religius yang strategis untuk dimobilisasi dalam satu gerakan dakwah antikorupsi kepada 272,23 juta jiwa penduduk Indonesia yang beragama Islam. Dakwah antikorupsi artinya adalah penyampaian dan pembahasan ajaran Islam terkait perintah Allah SWT kepada umat manusia untuk menjauhi perbuatan-perbuatan korupsi, merugikan masyarakat, serta larangan Allah SWT kepada umat manusia untuk berbuat kerusakan alam di muka bumi.

Kedua, influencer antikorupsi. Merupakan peran untuk melakukan kampanye dan pendidikan politik antikorupsi kepada teman, keluarga, dan masyarakat baik secara lisan maupun melalui media sosial. Media sosial sendiri merupakan sarana yang sangat potensial sebagai media influence dan distribusi informasi terkait nilai-nilai pendidikan politik dan antikorupsi mengingat masifisitas pengguna media sosial baik dalam kerangka dimensi vertikal maupun horizontal. Agar semakin masif dalam meng-influence pendidikan politik dan nilai-nilai antikorupsi, ulama dan santri harus berani membangun jejaring dan kerjasama baik dengan civil society maupun institusi pendidikan agar diseminasi pendidikan politik dan nilai-nilai antikorupsi dapat semakin meluas.

Ketiga, advokasi antikorupsi. Penyebab maraknya praktik korupsi berakar dari rendahnya budaya hukum antikorupsi. Oleh sebab itu, budaya hukum antikorupsi harus terus diinternalisasikan secara repetitif dan masih dalam segala lini kehidupan masyarakat agar semakin meluas tumbuh kepekaan dalam memahami arti penting pemberantasan korupsi. Ulama dan santri harus mengambil peran krusial sebagai inisiator dan eksekutor dalam program-program advokasi antikorupsi. Misalnya dengan menggelar festival antikorupsi, menggelar penguatan wawasan kebangsaan, hingga melakukan seminar antikorupsi baik di pesantren maupun di ruang publik.

Keempat, kritisisme korupsi. Ulama dan santri harus membangun konsolidasi baik dengan organisasi pemuda, civil society, mahasiswa, hingga masyarakat untuk membangun solidaritas dalam memperkuat spirit kritisisme terhadap praktik-praktik korupsi. Selain itu juga untuk memperkuat bergaining position dalam ranah formulasi kebijakan publik. Misalnya dengan melakukan kritik dan demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai kontradiktif dengan spirit pemberantasan korupsi atau mengawal kasus-kasus korupsi yang tengah diadili agar terbangun akuntabilitas dan obyektifitas. Selain itu, ulama dan santri bisa memanfaatkan lobi-lobi politis kepada partai-partai Islam agar bisa mendorong lahirnya kebijakan publik yang pro pemberantasan korupsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *